top of page

Bohemian Rhapsody: Biopik yang Ambigu dengan Musik yang Brilian


(sumber: youtube.com)

Film “Bohemian Rhapsody” merupakan film biografi besutan sutradara Bryan Singer yang menceritakan band rock tenar asal Inggris, Queen. Diperankan oleh Rami Malek sebagai Freddie Mercury, Gwilym Lee sebagai Brian May, Ben Hardy sebagai Roger Taylor, dan Joseph Mazzello sebagai John Deacon “Bohemian Rhapsody” menceritakan band Queen dari awal terbentuknya hingga masa-masa kejayaannya, termasuk persoalan internal band sendiri. Kisah mengenai bagaimana beberapa lagu Queen ditulis, beserta penggambaran ulang dari beberapa penampilan live mereka (Paris, London, Rio), juga tidak lupa diikutsertakan dalam biopik ini.

Film diawali dengan menceritakan seorang pemuda bernama Farrokh Bulsara (yang kemudian dikenal sebagai Freddie Mercury), seorang baggage handler di Bandara Heathrow, London, yang juga merupakan penggemar dari sebuah band berisi anak kuliahan bernama Smile beranggotakan Tim, Brian, dan Roger. Suatu ketika, Smile tampil dihadapan para pengunjung sebuah kelab malam, dan setelah penampilan mereka tersebut Smile ditinggal oleh vokalis mereka, Tim, untuk bergabung dengan band lain. Freddie, yang malam itu juga menonton penampilan Smile, menawarkan mereka lagu-lagu yang ia tulis, sekaligus menawarkan dirinya untuk mengisi kekosongan vokalis Smile. Sempat diragukan, Freddie unjuk suara pada saat itu juga, dan scene berikutnya langsung menunjukkan penampilan sebuah band baru bernama Queen yang juga diperkuat oleh Freddie dan basis baru bernama John. Padahal, kisah pembentukan Queen sebenarnya lebih jauh dari itu. Pada kenyataannya, sebagai penggemar band Smile, perkenalan Freddie dengan band tersebut sudah terjadi sebelum itu.

Hampir separuh bagian awal film menceritakan tentang awal perjuangan awal Queen sebagai band yang sedang berkembang: mencari manajer sekaligus label, memasarkan lagu ke khalayak, hingga melakukan tur. Namun, perlahan fokus film seakan bergeser, yang awalnya berfokus pada Queen menjadi pada kehidupan pribadi Freddie (meskipun gambaran tentang aktivitas band Queen sendiri masih tetap ditunjukkan dengan tidak sedikit). Hal ini dapat dilihat mulai dari bagaimana film menceritakan kisah awal Freddie mulai menyadari seksualitasnya sebagai seorang homoseksual hingga kisah berubahnya sikap Freddie menjadi seorang tukang pesta setelah berpisah dengan istrinya, Mary.

Sebenarnya, perubahan fokus film ini cukup disayangkan, karena selanjutnya menimbulkan pertanyaan yaitu biografi siapakah yang sesungguhnya diceritakan pada film ini, Queen atau Freddie? Apabila biografi Queen yang ingin dikisahkan, mengapa kisah pembentukan Queen hanya digambarkan sesingkat itu, atau bagaimana proses pembuatan logo Queen yang terkenal itu oleh Freddie yang notabene merupakan mahasiswa seni? Atau mengapa tur Queen di Afrika Selatan pada masa apartheid (yang dianggap oleh sebagian orang cukup kontroversial) tidak dikisahkan? Sebaliknya, apabila yang diinginkan adalah penggambaran kisah biografi Freddie, seharusnya dapat dikisahkan mengenai bagaimana Freddie menyembunyikan seksualitasnya (bukannya secara pasif digoda oleh pengemudi truk di Amerika Serikat dan manajer pribadinya, Paul) mengingat kondisi di Inggris terkait para homoseksual pada waktu itu. Atau seharusnya keputusan Freddie dalam melakukan karier solo dapat digambarkan secara lebih objektif. Pasalnya, keutuhan Queen tidak hanya diuji oleh keputusan Freddie sendiri untuk melakukan karier solo, melainkan hal ini pernah dilakukan sebelumnya oleh Brian dan Roger. Selain itu, keputusan Freddie ini juga seakan-akan lebih dikambinghitamkan lagi, karena akibat keputusannya ini, Queen menjadi vakum dalam melakukan tur dan persiapan penampilan mereka pada konser Live Aid harus dilakukan dengan kerja ekstra (padahal sebenarnya sebelum konser Live Aid, Queen masih secara rutin melakukan tur). Apabila film ini memiliki fokus yang tidak terpecah, masih banyak hal yang dapat ditunjukkan dan belum ditunjukkan di film ini, serta mampu semakin memuaskan keingintahuan penonton serta para fans Queen. Memang, untuk melakukan itu, dibutuhkan film berdurasi yang lebih panjang dari sekadar 134 menit.

Kelengkapan maupun keakuratan film ini secara historis memang dapat dipertanyakan. Para penonton sangat diperbolehkan untuk berharap lebih dari film ini, meskipun sebenarnya keputusan Bryan Singer sebagai sutradara atau Anthony McCarten sebagai penulis naskah dalam mengurangi keakuratan sejarah Queen dapat sedikit dimaklumi apabila terkendala durasi. Tetapi, kekurangan film ini sangat mampu ditutupi oleh setidaknya tiga alasan, yang tak dapat dilepaskan dari penampilan para pemainnya.

Pertama, film ini mampu menampilkan proses penulisan dan produksi lagu-lagu Queen dari sudut pandang anggota-anggotanya sebagai musisi dengan sangat baik. Mulai dari betapa sulitnya menulis album karena terkendala waktu dan biaya, proses memperoleh inspirasi dan diskusi dalam penulisan sebuah lagu, hingga proses eksperimen untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam proses rekaman tidak luput digambarkan dalam film ini. Proses produksi album “A Night at the Opera“: mulai dari bagaimana Queen mengisolasi diri mereka di Rockfield Farm untuk berkonsentrasi menyusun album, proses setiap anggota band berlomba-lomba menulis lagu, proses rekaman, hingga adegan diskusi alot antara Queen dengan petinggi label EMI, Ray Foster, untuk menentukan lagu mana yang akan dirilis sebagai single yang disusun dengan begitu detil rasanya sangat bisa dijadikan contoh. Ingin contoh lagi? Lihat saja bagaimana ketika John memperkenalkan lagu ciptaannya “Another One Bites the Dust” yang tidak ber-genre rock dan disertai reaksi rekan-rekannya. Atau tengok serangkaian scene proses rekaman salah satu single dengan proses rekaman termahal di dunia saat itu sekaligus (arguably) lagu terbaik Queen, yaitu “Bohemian Rhapsody” yang begitu njelimet: mulai dari betapa syahdunya rekaman bagian ballad hingga betapa sulit dan berulang-ulangnya rekaman bagian opera. Ekspresi Freddie yang terlihat sangat puas ketika Roger mampu menyanyikan kata “Galileo” dengan nada setinggi yang ia inginkan, serta ekspresi Brian yang sangat menjiwai ketika merekam bagian solo gitar hasil gubahannya pada lagu “Bohemian Rhapsody” setelah diberi kebebasan oleh Freddie mampu mengajak para penonton menyelam masuk kedalam pikiran para personel Queen sebagai seorang musisi. Gambaran mengenai proses penulisan serta produksi lagu-lagu Queen ini mampu membuat para penontonnya mengetahui secara detil inspirasi maupun proses lahirnya lagu-lagu tersebut, sekaligus memberi sarana bagi para penonton untuk dapat mengapresiasi lagu-lagu tersebut.

Kedua, film ini mampu menyajikan lagu-lagu Queen dalam bentuk sinematik secara baik. Memang akan tampak sulit apabila harus menampilkan lagu-lagu mereka secara utuh, dan sebenarnya hal itu juga tidak diperlukan. Lagu-lagu yang ada di film ini hanya ditampilkan atau diputar sebagian saja (kecuali pada penampilan Live Aid), namun hal yang ingin ditonjolkan dari lagu-lagu tersebut tetap dapat terlihat. Naik-turun lagu “Bohemian Rhapsody” dapat disimpulkan melalui bagian “nothing really matters”-nya yang terakhir diputar di kantor Ray Foster setelah ditunjukkan potongan-potongan proses perekamannya. Betapa lirihnya lagu “Love of My Life” mampu ditunjukkan dengan menampilkan bagian awal lagu tersebut di sebuah konser dengan pencahayaan berwarna biru redup serta menampilkan Freddie dan Mary mendengarkan bagian lagu yang sama. Sementara lirik lagu “Under Pressure” tentang bagaimana seseorang tidak boleh menyerah pada dunia yang memberinya tekanan dapat ditunjukkan ketika lagu tersebut diputar sebagai background music pada adegan Freddie yang hendak kembali kepada Queen dari karier solonya yang melelahkan, disertai dengan intro basnya yang bernada upbeat. Dengan demikian, film ini mampu secara efektif meninggalkan impresi bagi para penontonnya terhadap lagu-lagu Queen tanpa harus memutarkan seluruhnya.

Dan yang ketiga, bagaimana detilnya film ini merekonstruksi penampilan live Queen perlu diacungkan dua jempol. Film ini tidak lupa menggambarkan para penonton konser yang senantiasa ramai bertepuk tangan sesuai ritme lagu sambil menyanyikan bersama lirik setiap lagu (hingga menginspirasi penulisan lagu “We Will Rock You”) pada setiap konser, lantunan “ay-oh!” Freddie pada para penonton, hingga high angle shot dari Roger dan drumnya. Selain penggambaran penonton konser, penggambaran Freddie Mercury sebagai pusat perhatian yang ikonik pada penampilan-penampilan live juga dilakukan dengan pendekatan personal. Hal ini mampu dicapai dengan cara mengambil shot-shot close up Freddie, yang diperankan oleh Rami Malek, pada penampilan live. Dengan demikian, penonton film mampu melihat penampilan live Queen dari sudut pandang lebih personal, sebuah sudut pandang yang berbeda dari penampilan live yang biasa dilihat pada video-video yang sudah banyak beredar. Tentu saja, aksi Malek sendiri berperan sangat penting dalam hal ini, bagaimana ia mampu mereka ulang aksi Freddie Mercury, namun tetap memberikan sentuhan pribadinya. Contohnya yaitu melalui mimik-mimik ekspresif ketika Freddie yang asli berimprovisasi pada lagu yang digunakan sebagai dubbing. Contoh lainnya yaitu melalui ekspresi grogi yang mungkin sulit terlihat pada penampilan asli Queen, namun ditambahkan pada beberapa adegan film ini untuk menampilkan sisi manusiawi Freddie yang juga masih bisa merasa takut sebelum tampil. Briliannya aksi teatrikal Malek kemudian dipadukan melalui teknis pengambilan gambar yang tak kalah keren. Lihat saja pada scene penampilan monumental mereka di Live Aid ketika shot penonton, shot-shot following proses persiapan konser, maupun close-up, aerial, dan Steadicam shot para personel band dari berbagai sudut pandang ditampilkan secara bergantian sehingga mampu menghadirkan pengalaman konser bagi para penonton. Hal-hal tersebut mampu memberi perspektif baru bagi penonton terhadap penampilan live Queen, namun, detil-detil terkecilnya tetap tidak terlupakan.

Yah, terlepas dari kelemahan maupun kelebihannya, penilaian bagus atau tidak film “Bohemian Rhapsody” hanya dapat diambil tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Tampaknya, agak kurang pas menyebut film ini sebagai sebuah biopik, atau lebih tepatnya sebagai sebuah biopik Queen mengingat keambiguan fokus film ini. Selain itu, masih banyak yang bisa ditampilkan pada film ini yang berkaitan dengan sejarah, namun hal tersebut tidak dilakukan. Tetapi sebagai sebuah film yang menampilkan karya-karya Queen, film ini patut diberikan standing ovation karena mampu mengenalkan serta memberi kesempatan bagi para penontonnya untuk mengapresiasi Queen maupun Freddie melalui lagu-lagu dan penampilan mereka, selain dari sisi historisnya. Dengan demikian, meskipun dapat menimbulkan ketidakpuasan, film ini tetap bisa mengedukasi, menghibur, serta memberi kesempatan para penontonnya untuk bernostalgia melalui lagu-lagu Queen yang ada pada film ini.

Trailer:

bottom of page