top of page

The Book of Life: Media Pembelajaraan Kedewasaan



The Book of Life (2014) merupakan film animasi yang disutradarai oleh Jorge R. Gutierrez, yang sekaligus menjadi animator film ini. Film The Book of Life menceritakan salah satu kisah dari negeri Meksiko yang diambil dari sebuah “Kitab Kehidupan” (Book of Life). Kisah yang diangkat berlatar belakang dari perayaan Hari Kematian (Day of the Dead/Día de Muertos), yang merupakan perayaan asal Meksiko untuk mengenang arwah-arwah orang-orang terkasih yang sudah meninggal.


Kisah ini menceritakan tentang tiga orang yang sudah bersahabat sejak kecil, Manolo Sánchez (Diego Luna), pemuda keturunan matador yang gemar bermain gitar dan menyanyi, María Posada (Zoe Saldana), seorang gadis cantik anak dari Jenderal Ramiro Posada (Carlos Alazraqui), dan Joaquín Mondragon (Channing Tatum), seorang ksatria anak dari pahlawan perang yang telah gugur, Jenderal Mondragon. Manolo, Joaquín, dan María terlibat dalam sebuah cinta segitiga. Kisah cinta segitiga ini tak lupa diwarnai juga oleh status dan peran sosial yang diemban oleh ketiga sahabat tersebut. Namun, ternyata kisah cinta ini bukanlah sebuah kisah cinta biasa, melainkan sebuah kisah cinta yang melibatkan pertaruhan dua penguasa alam kematian yang berbeda: La Muerte (Kate del Castillo) dan Xibalba (Ron Perlman).


Film The Book of Life, meskipun diproduksi di negara Amerika Serikat (dan berbahasa Inggris), tetap kental akan kebudayaan Meksiko, negara asal sang sutradara Jorge R. Gutierrez. Dilihat dari latar belakang perayaan Hari Kematian yang diangkat saja, kebudayaan Meksiko sudah diperkenalkan di awal film ini. Film ini mampu memperkenalkan perayaan Hari Kematian dengan singkat namun jelas, baik itu secara naratif pemandu tur museum (Christina Applegate) di awal film, maupun melalui cara dramatisasi setelahnya, dimana Manolo, Joaquín, dan María melakukan ziarah ke makam. Hal ini mampu membuat para penonton, meskipun belum mengenal akan perayaan Hari Kematian, tetap mampu mengerti akan perayaan tersebut dan menonton film ini tanpa pertanyaan besar di kepala mereka. Lagu-lagu yang menjadi soundtrack film ini yang bergenre musik polka ala Meksiko juga mampu membuat film ini semakin terasa Meksikonya.


Secara visual, film animasi ini dapat dinilai mampu memanjakan mata penontonnya melalui warna-warna vibrant yang mendominasi film ini, hingga melalui art style tokoh-tokoh utama film ini (para wooden figure) yang mendetail ala-ala film animasi Tim Burton. Khusus untuk art style film ini yang mendetail, rasanya Jorge R. Gutierrez sebagai animator ingin menyisipkan satu lagi budaya Meksiko, yakni dekorasi dan ornamen-ornamen pada perayaan Hari Kematian yang mendetail serta meriah layaknya art style dalam film ini (contoh konkretnya dapat dilihat pada festival yang ada saat Manolo memasuki alam kematian).


Kisah cinta yang diangkat The Book of Life merupakan salah satu contoh kisah pendewasaan seseorang (when friends turn into lovers). Kisah cinta ini diwarnai dengan berbagai fantasi yang membuat penonton usia remaja kebawah menjadi penikmat utama film ini. Lihat saja unsur peperangan untuk mempertahankan suatu kota, sifat dan status kepahlawanan Joaquín yang sering kali menjadi idaman anak-anak lelaki, hingga unsur dewa-dewi yang menguasai suatu alam beserta alam kematian kepunyaan mereka masing-masing (Land of the Remembered milik La Muerte dan Land of the Forgotten milik Xibalba). Hal ini juga tetap mampu membuat penonton kalangan usia yang lebih tua bernostalgia akan masa kecilnya.


Disamping hal tersebut, kisah cinta yang dibawakan film ini semata-mata hanya merupakan packaging dari nilai-nilai yang ingin diangkat film ini. Nilai-nilai tersebut bukan terletak pada kisah pendewasaannya, melainkan nilai-nilai kehidupan sehari-hari, seperti bagaimana seseorang harus jujur, memiliki hati yang ikhlas dalam membantu dan dalam mencintai seseorang, berani, pantang menyerah, dan memaafkan orang lain. Tentu saja, hal ini akan cocok bagi remaja dan anak-anak yang menjadi penikmat utama film ini, mengingat mereka akan membutuhkan nilai-nilai tersebut dalam proses menuju kedewasaan. Hanya saja, yang disayangkan dalam film ini adalah bagaimana kisah perjuangan Manolo dan Joaquín untuk merebut hati María yang ala-ala film romance terlalu berat untuk penonton usia anak-anak.


Penonton dapat semakin mudah menangkap nilai-nilai yang ingin disampaikan film ini karena mereka mampu larut dalam film akibat kemampuan sang sutradara dalam mengorkestra naik-turunnya emosi penonton yang boleh diacungi jempol. Emosi film ini secara umum adalah riang, dapat dilihat dari, seperti yang telah disebutkan, warna yang cerah dan kontras, hingga lagu-lagu yang cukup banyak sehingga membuat suasana di film ini semakin hidup. Namun, untuk beberapa adegan yang tidak butuh keriangan, penonton tetap mampu merasakan emosi lain yang ingin disampaikan pada adegan tersebut. Lihat saja bagaimana mengharukannya adegan Manolo dan María bertukar kado di stasiun saat mereka harus berpisah dengan kekontrasan warna yang diturunkan, bagaimana scene Manolo menemui María di jembatan dengan alunan petikan gitar Manolo yang mampu membuat penonton berkata “aww, so sweet!”, maupun bagaimana tulusnya Manolo dalama scene meminta maaf kepada banteng saat bertarung di alam kematian melalui pergerakan slow-mo.


Film The Book of Life dapat dinilai mampu mengajarkan virtues of life tanpa menggurui melalui beberapa contoh dalam kisah cinta yang diangkat, serta secara ringan. Nilai-nilai tersebut dibalut melalui kebudayaan Meksiko yang kental dan dibawakan secara baik, dimana penonton mampu mengenalnya melalui film ini. Hal ini mampu membuat film ini pas untuk ditonton, baik itu sebagai hiburan di waktu luang, sebagai bahan nostalgia masa kecil oleh penonton kalangan usia dewasa, maupun sebagai media untuk mendapat nilai-nilai pendewasaan oleh anak-anak dan remaja yang educating yet still entertaining.


bottom of page